Pembuka Surah-surah Al-Qur’an

Hal yang tidak kurang pentingnya dibahas dalam kesempatan ini, adalah tentang pernyataan-pernyataan yang ditetapkan Allah dalam membuka surah-surah Alqur`an. Alqur`an al-Karim memuat 114 surah, menurut ulama yang menghitung surah At-Taubah/9 sebagai surah yang berdiri sendiri. Bagi ulama yang tidak menghitungnya sebagai surah yang berdiri sendiri, karena surah ini tidak diawali basmalah dan dipandang sebagai terusan surah sebelumnya, jumlah surah Alqur`an hanya 113, dari surah Al-Fatihah/1 sampai surah Al-Nas.

Perbedaan ulama dalam penetapan jumlah surah Alqur`an bukanlah masalah yang prinsip. Namun, satu hal yang jelas adalah bahwa surah-surah yang terhimpun dalam Alqur`an tidaklah dibuka Allah seluruhnya dengan pilihan nuansa spiritual yang sama dan monoton, tetapi dengan variasi pernyataan yang berbeda-beda. Perbedaan pembuka surah-surah itu tentulah bukan tanpa makna yang berarti.

Adalah amat menakjubkan bagi orang-orang yang berpikir dan mau mengerti, bahwa Allah swt membuka atau memulai surah-surah kalamNya dalam Alqur`an, dengan tak kurang dari 10 macam pernyataan (frase). 10 macam frase itu meliputi/menjaring seluruh surah yang ada dalam Alqur`an. Tidak satu pun surah yang berada di luar jangkauan orientasi pernyataan-pernyataan itu. 10 macam frase yang dimaksud adalah berikut :

Pertama, Allah menyatakan pujian (al-tsana`). Allah yang Maha Qadim menyatakan pujian diriNya kepada diriNya sendiri, yang dalam istilah resmi disebut hamd al-qadim li qadim (puji Tuhan yang Qadim kepada diri-Nya). Pujian dalam kategori ini terlihat dalam dua macam, yaitu pujian yang menegaskan predikat positif dan kesempurnaan pada diriNya, dan yang meniadakan serta membersihkan diriNya dari sifat-sifat kekurangan. Yang petama berbentuk al-tahmid (pujian), seperti terlihat dalam lima surah : Al-Fatihah/1, Al-An`am/6, Al-Kahfi/18, Saba`/34 dan Fathir/35; dan terdapat dalam ungkapan keberkahan (tabaraka) dalam dua surah : Al-Furqan/25 dan Al-Mulk/67. kedua, berbentuk tasbih yang dalam Alqur`an terdapat dalam tujuh surah : Al-Isra/17, Al-Hadid/57, Al-Hasyr/59, As-Shaf/61, Al-Jumu’ah/62, At-Taghabun/64 dan Al-A`la/87.

Menurut pendapat Al-Kirmani, dalam Mutasyabih al-Qur`an, “Tasbih merupakan ungkapan kata yang penting dalam rangka menyucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak laik bagi-Nya.” Maka, Ia memulai menyatakan tasbih dengan menggunakan kata subhana (masdar) dalam surah Al-Isra/17, karena masdar adalah yang asal. Kemudian Allah menggunakan sabbaha, fi`il madli (kata kerja lampau) yang artinya “telah bertasbih.” Ungkapan sabbaha terdapat dalam tiga surah, yaitu surah Al-Hadid/57, Al-Hasyr/59 dan As-Shaf/61, karena ketiganya lebih dahulu penempatannya dalam susunan Alqur’an. Selanjutnya Allah swt menyatakan  tasbih dengan menggunakan fi`il mudlari`, yusabbihu, yang artinya “selalu bertasbih”, terdapat dalam surah Al-Jum`ah/62 dan surah Al-Taghabun/64. juga Allah swt membuka dengan tasbih dengan bentuk fi`il amar (kata kerja perintah), yaitu sabbih, yang artinya “bertasbihlah”, dalam surah Al-A`la/87. Dengan demikian, penggunaan tasbih oleh Allah swt sebagai pembuka surah-surah Alqur`an telah dipaparkan dalam berbagai bentuknya, untuk menunjukkan makna pentingnya tindakan manusia dalam wujud memahasucikan ALLAH SWT.

Alqur`an dengan begitu mengajarkan kepada manusia untuk bertasbih kepada Allah. Bertasbih tidak hanya dikerjakan oleh manusia, tetapi juga oleh makhluk Allah yang lain di antara langit dan bumi, sesuai dengan hukum alamnya masing-masing.

Kedua, Allah, dalam rangka membuka sebagian surah-surah Al-Qur`an, menggunakan huruf-huruf tahajji, yaitu huruf-huruf yang dalam pembacaannya dibaca satu persatu (al-huruf al-muqaththa`ah). Kenyataan bahwa huruf-huruf tahajji digunakan Allah sebagai pembuka surah-surah Al-Qur`an, terdapat dalam sejumlah 29 surah, yang dalam pandangan kebanyakan ulama rumus itu dimasukkan dalam jenis nash mutasyabih, yang dalam memahaminya memerlukan penakwilan. Enam buah surah : Al-Baqarah/2, Ali Imran/3, Al-Ankabut/29, Ar-Rum/30, Luqman/31 dan As-Sajdah/32, dibuka dengan Alif –Lam –Mim. Surah Al-A`raf/7 dibuka dengan Alif –Lam, –Mim –Shad. Surah Yunus/10, Hud/11, Yusuf/12, Ibrahim/14 dan surah Al-Hijr/15 dibuka dengan Alif –Lam –Ra`. Surah Al-Ra`d/13 dengan Alif –Lam –Mim –Ra`. Surah Maryam/19 dengan Kaf –Ha` –Ya` –`Ain –Shad. Surah Thaha/20 dengan huruf Tha` –Ha`. Surah Al-Syu`ara`/26 dan Al-Qashash/28 dengan Tha` –Sin –MimAn-Naml/27 dengan Tha` –Sin. Surah Yasin/36 dengan huruf Ya` –Sin. Surah Shad/38 dengan huruf Shad. Surah Al-Mu`min/40, Fushshilat/41, Az-Zukhruf/43, Ad-Dukhan/44, Al-Jatsiyah/45 dan Al-Ahqaf/46 dibuka dengan Ha` –Mim. Surah Al-Syu`ara`/26 dengan Ha` –Mim –`Ain –Sin –Qaaf. Surah Qaf/50 dengan huruf Qaf, dan surah Al-Qalam/68 dengan huruf Nun.

Pada umumnya, para mufassir tidak berupaya memahami maksud ungkapan rumus tersebut. Terhadap nash mutasyabih itu, mereka lebih suka menyatakan Allahu a`lamu bimuradihi (Allah paling mengetahui maksudnya). Kelompok pakar serupa itu memandang bahwa hidayah Alqur`an bukan terletak pada ungkapan-ungkapan seperti itu tetapi, pada keseluruhan ayat-ayat Alqur`an, pada nash-nash yang mudah dipahami maksud dan maknanya.

Tetapi, ada mufassir yang mencoba memahami maksud huruf-huruf potong pembuka surah-surah itu, dengan merujuk pandangan mufassir masa awal Islam, semisal Ibn Abbas ra. Dengan merujuk pendapat Ibn Abbas ra, huruf-huruf potong yang ditampilkan Allah dibagian awal beberapa surah Alqur`an, mengandung arti sebagai enisial nama-nama Allah, yang memang Tuhan memiliki Al-Asma` al-Husna (nama-nama yang baik). Atau setiap huruf yang terdapat dalam ungkapan Huruf Hijaiyyah itu sebagai kependekan dari kata-kata yang sacral dan suci. Seperti alif, lam, miim, dalam penakwilan yang berdasarkan tawil Ibn Abbas : Alif merupakan enisial dari kata Allah; Laam dari kata Jibril, dan Miim enisial kata Muhammad. Dengan begitu maksudnya adalah : hadza al-Qur`an munazzal minallah `ala lisani Jibril ila Muhammad (Alqur`an ini diturunkan dari Allah swt menggunakan bahasa Jibril disampaikan kepada Muhammad saw).

Penakwilan tersebut adalah untuk menangkap sisi hidayah yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan firman-Nya yang berupa huruf-huruf tahajji itu. Upaya penakwilan serupa itu untuk mencari solusi dari keterjebakan budaya “lempar handuk” yang dalam menghadapi huruf-huruf tahajji tersebut seolah-olah cukup diselesaikan dengan kata Allahu a`lam bimuradini. Pemaknaan sebuah ungkapan dalam Alqur`an mungkin dapat memunculkan sisi hidayah dari ungkapan tersebut.

Ketiga, Allah membuka sejumlah surah dengan mengedepankan panggilan (al-nida`), dalam ± 10 surah. Panggilan kepada rasulullah saw dipermulaan surah terdapat pada surah Al-Ahzab/33, al-Thalaq/65, al-Tahrim/66, al-Muzzamil/73 dan surah al-Muddatstsir/74. Panggilan lain yang ditujukan kepada umat, adalah sebagaimana terlihat di awal surah Al-Nisa`/4, Al-Maidah/5, Al-Hajj/22, Al-Hujurat/49 dan surah Al-Mumtananah/60. Panggilan kepada rasulullah saw tentu dengan tujuan agar menjadi perhatian rasul yang sudah barang tentu juga perhatian umatnya. Sedangkan panggilan yang ditujukan kepada umat adalah sebagai bukti kasih-sayang Allah kepada mereka, dan agar apa yang disampaikan berupa perintah atau larangan yang ditegaskan setelah panggilan itu benar-benar diperhatikan dan diamalkan atau ditinggalkan dengan kesadaran, yakni dengan pemantauan dan pengendalian pada diri sendiri.

Dengan demikian satu fakta sangat jelas bahwa panggilan Allah dalam Alqur`an, tidak hanya ditujukan kepada rasulullah selaku penerima wahyu, tetapi juga kepada umat manusia terutama umat Islam, karena Alqur`an itu memang sebagai petunjuk bagi umat manusia (hudan li al-nas).

Keempat, Allah di beberapa surah mengedepankan jumlah khabariyah (pernyataan berita), baik ditujukan kepada rasulullah maupun kepada ummat. Hal itu seperti dapat dilihat dalam surah Al-Anfal/8, At-Taubah/9, An-Nahl/16, Al-Anbiya`/21, Al-Mu`minun/23, An-Nur/24, Az-Zumar/39, Muhammad/47, Al-Fath/48, Al-Qamar/54, Ar-Rahman/55, Al-Mujadilah/58, Al-Haqqah/69, Al-Ma`arij/70, Nuh/71, laa `uqsimu di dua tempat, `Abasa/60, Al-Qadar/97, Al-Bayyinah/98, Al-Qari`ah/101, At-Takatsur/102, Al-Kautsar/108. Seluruh surah yang dibuka dengan jumlah khabariyah, kata al-Suyuthi, berjumlah 23 surah.

Pernyataan berita yang tersebar dalam 23 surah tersebut merupakan pernyataan-pernyataan yang sangat penting bagi manusia yang memerlukan apresiasi dalam menerima, memahami, mengerti dan mengamalkannya. Semuanya perlu pada sikap positif manusia, baik akidah (keyakinan), ibadat maupun lainnya.

Kelima, Allah mengedepankan al-qasam (sumpah)Nya dalam 15 surah. Di sini Ia bersumpah dengan menyebutkan sebagian makhlukNya sebagai muqsam bih. Di awal surah As-Shaffat/37 Ia bersumpah dengan Malaikat yang berbaris bersaf-saf. Dalam dua surah, Al-Buruj/85 dan At-Thari     q/86, Ia bersumpah dengan langit (al-sama`). Kemudian, dalam enam tempat, Ia berqasam dengan makhlu-makhlukNya terdapat pada makhluk yang digunakan sumpah tadi. Dalam surah An-Najm/53, Ia bersumpah dengan bintang Tsurayya. Di surah lain ditemukan sumpahNya dengan menyebut “fajar” yang menandai dimulainya waktu siang; matahari yang ada pada siang; hari “malam” yang menjadi tanda gelap yang kelam, “dluha” di pagi hari, “Ashar” di waktu yang lain. Tegasnya Allah bersumpah dengan sejumlah waktu.

Dalam  dua surah, Ia bersumpah dengan angin (al-hawa`) yang merupakan unsur alam yang penting sekali, yaitu dalam surah Adz-Dzariyat/51 dan surah Al-Mursalat/77. Demikian pula Allah bersumpah dengan menyebut bermacam-macam makhlukNya, seperti dalam surah al-Tur/52, At-tin/95, An-Nazi`at/79 dan Al-`Adiyat/100. Dibanding sumpah-sumpahNya yang menyebut diriNya/DzatNya, sumpah-sumpahNya dengan menyebut makhlukNya lebih banyak, tersebar dalam banyak surah Alqur`an.

Mengapa Allah memilih dan menetapkan sebagian dari makhlukNya, dalam rangka sumpah-sumpahNya ? Tentu hal terebut mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Apakah hikmah di balik pilihan Allah terhadap sebagian makhlukNya untuk digunakan sebagai obyek dalam sumpah-sumpahNya ?

Ibn Abi al-Ishba` juga Ibnu Qayyim al-Jawziyah, menyebutkan bahwa sumpah-sumpah Allah dengan menyebut sebagian makhlukNya menunjukkan bahwa makhluk tersebut termasuk tanda-tanda kekuasaanNya yang penting/agung. Maksudnya, hal yang disebutkan dalam posisi muqsam bih itu memang sesuatu yang amat penting yang perlu diperhatikan manusia yang merupakan mitra bicara Allas swt dalam sumpahNya.

Dengan demikian, apabila Allah bersumpah, misalnya dalam surah Al-Syams/91 :1, wa al-syamsi (demi matahari), maka terjemahan sumpah tersebut yang paling tepat adalah :”alangkah pentingnya matahari,”. Pemahaman serupa itu diambil sejalan dengan maksud penyebutannya oleh Allah dalam sumpahNya itu, yaitu sebagai dalil(un) `ala `azhimi ayatih (bukti atas pentingnya ayat Allah). Sasarannya adalah agar manusia mampu menangkap makna pentingnya keberadaan matahari itu dalam keseluruhan tata kehidupan makhluk, khususnya manusia. Sampai sekarang, sudahkah umat Islam mampu menangkap makna penting dari keberadaan matahari ? Sudah mampukah umat Islam menangkap dengan tepat dan akurat makna penting kata “wa al-`Ashri” yang digunakan sebagai muqsam bih dalam sumpahNya pada surah Al-Ashr/103 ?

Syekh Muhammad Abduh mengemukakan : sekiranya kita meneliti kembali sumpah-sumpah Tuhan dalam Alqur`an, akan tampak bahwa benda-benda yang digunakan Allah bersumpah merupakan hal-hal yang diremehkan karena ketidaktahuan akan faedahnya dan ketidakkemampuan menangkap `ibrah (pelajaran) yang dikandungnya, atau disebabkan kebutaan terhadap kandungan hikmah Allah dalam ciptaan-Nya, atau terjadi persepsi yang keliru terhadapnya, sehingga melampaui kebenaran yang ditetapkanNya terhadapnya.

Karena itu, menurut Muhammad Abduh, adakalanya Allah bersumpah dengan menggunakan suatu obyek tertentu untuk menegakkan eksistensinya dalam pikiran orang yang mengingkarinya; atau untuk mengingatkan terhadapnya pada diri orang yang meremehkan atau melupakannya; atau demi mengubah citranya dalam diri orang yang disesatkan oleh khayalannya dan orang yang diselewengkan oleh persepsinya yang keliru/salah.

Menurut pendapat As-Sya`rawi, katanya “Ada juga di antara obyek yang digunakan Allah dalam bersumpah, karena obyek tersebut dipandang sebagai suatu yang biasa saja, yang tidak diperdulikan dan tak diperhatikan. Allah swt bersumpah denganNya untuk mengorientasikan pikiran manusia agar memperhatikannya. Allah menggunakan obyek tertentu dari makhlukNya dalam bersupah karena pada makhluk tersebut terdapat sesuatu yang amat penting/agung yang telah dilupakan manusia.”

Keenam, Allah swt menyebutkan kejadian-kejadian tertentu dengan mengaitkannya dengan syarat. Penyebutan syarat tersebut di bagian pertama surah-surah tertentu untuk menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan hal yang pasti akan terjadi, bukan hal yang mungkin terjadi atau mustahil terjadi. Hal itu seperti terdapat dalam tujuh surah, yakni surah Al-Waqi`ah/56, Al-Munafiqun/63, At-Takwir/81, Al-Infithar/82, Al-Insyiqaq/84, Az-Zalzalah/99 dan surah An-Nashr/110.

Semua surah tersebut dibuka dengan syarat idza yang artinya “apabila.” Ungkapan syarat, “Apabila terjadi hari kiamat” (Al-Waqi`ah/56), “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu” (Al-Munafiqun/63), “Apabila matahari digulung” (At-Takwir/81), “Apabila langit terbelah” dan “Apabila bumi berguncang dengan guncangan yang dahsyat” (Az-Zalzalah/99), dan “Apabila telah datang pertolongan dan kemenangan” (An-Nashr/110), semuanya itu pasti akan terjadi di dalam kenyataan yang tak dapat dihindari. Syarata idza digunakan untuk hal-hal yang pasti terjadi.

Perlu dijelaskan bahwa syarat idza digunaan Alqur`an untuk sesuatu yang pasti akan terjadi, berbeda dengan kata “in” yang biasa digunakan untuk sesuatu yang belum atau jarang terjadi, dan berbeda pula dengan syarat “law” yang digunakan untuk mengandaikan sesuatu yang mustahil akan terjadi. Dengan demikian, ungkapan-ungkapan dengan penyebutan huruf idza (apabila) dalam surah-surah di atas, mengisyaratkan kepastian akan terjadinya hal-hal tersebut. Semua itu harus diyakini sebagai hal-hal yang niscaya terjadi pada waktunya yang tepat.

Ketujuh, Allah membuka surah-surah tertentu dengan menekankan al-Amr (perintah)Nya yang diarahkan kepada rasulullah, yang juga kepada umatnya. Hal itu seperti terlihat dalam enam surah, yaitu surah Al-Jin/72, Al-`Alaq/96, Al-Kafirun/109, Al-Ikhlas/112, Al-Falaq/113 dan An-Nas/114.

Dalam enam surah tersebut Allah memulai firman-Nya dengan fi`il amarQul” yang artinya “katakanlah.” Perintah “Qul” dimaksudkan agar apa yang disebutkan setelah kata perintah itu diterima, dijadikan sikap dan diyakini, sehingga benar-benar menjadi keyakinan yang kukuh. Misalnya, kita menerima firman-Nya :qul huwallahu ahad (katakanlah Dia itu Allah Maha Esa). Itu berarti kita diperintah Allah untuk menerima, berkata, bersikap dan mempunyai keyakinan bahwa Allah Tuhan Yang Esa. Maka, kita selaku Muslim selalu mengucapkan kesaksian :asyhadu alla ilaha illallah (saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah).

Kedelapan, Allah menyampaikan istifham (pertanyaan) di permulaan enam surah, yaitu dalam surah An-Naba`/78, Al-Ghasyiyah/88, Al-Insyrah/94, al-Fil/105 dan Al-Ma`un/107.

Pertanyaan-pertanyaan Allah itu bukanlah berarti Tuhan tidak mengetahui masalah-masalah di balik pertanyaan, tetapi sebagai metode atau jembatan dalam rangka menjelaskan lebih jauh apa-apa yang hendak dipaparkan-Nya, sehingga siapa pun yang menjadi mitra bicara Allah menjadi tahu dengan jelas dan mengerti.

Kesembilan, Allah swt memvonis celaka kepada pihak-pihak yang mestinya celaka di permulaan beberapa surah, yakni surah Al-Muthaffifin/83 dengan vonis wail(un) lil muthaffifin (celakalah bagi orang-orang yang curang); dalam surah Al-Humazah/104, dengan vonis wail(un) likulli hamzah (celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela), dan dalam surah al-Lahab/111, dengan vonisNya tabbat yada abi lahab(in) wataba (binasalah diri Abu Lahab, dan benar-benar binasa dia). Vonis-vonis Allah tersebut disampaikanNya setimpal dengan keburukan dan kejahatan masing-masing yang disebut dalam surah-surah yang terkait.

Kesepuluh, Allah dalam satu-satunya surah, yaitu surah Quraisy/106, mengedepankan penjelasan alasan (al-ta`lil). Alasan dalam surah itu ditempatkan lebih dahulu dari sesuatu yang diperintahkanNya seperti yang diletakkan pada ayat 3. Dalam kata lain, dalam surah ini, Allah lebih mendahulukan keterangan alasan dari pada penyebutan sesuatu yang seharusnya dilakukan (taqdim al-ta`lil `an al-Amri). Jadi, Allah memerintahkan sesuatu dengan terlebih dahulu disampaikan alasannya, agar perintah yang disampaikan itu benar-benar diperhatikan atau dijalankan. Contoh dalam bahasa Indonesia dapat dibuat, misalnya :”Karena Anda memiliki reputasi penting dan menonjol dalam segala hal di masyarakat, maka Anda seharusnya banyak berbuat baik untuk diteladani oleh semua warga masyarakat.”

Dalam ilmu balaghah, gaya pengungkapan penbicaraan serupa itu termasuk uslub (gaya bahasa) yang tinggi dan efektif. Sebelum perintah disampaikan kepada orang Quraisy, terlebih dahulu disampaikna alasannya. Dalam memahami firman Allah di sini, ada yang mengaitkan huruf lam/karena/al-ta`lil, dalam kata li ilafi pada awal ayat 1 surah Quraisy, dengan perintah beribadah yang ditegaskan pada ayat 3 berikutnya. Seakan-akan surah ini menyatakan :”Hendaklah mereka menyembah Allah, Tuhan Pemilik rumah ini, karena Dia telah menjamin kelancaran jalur perdagangan mereka, baik pada musim dingin maupun musim panas.” Alasan yang disampaikan terlebih dahulu terasa lebih indah.

Demikianla sepuluh macam fakta pembuka surah-surah Qur`an yang dapat dijelaskan yang ternyata alangkah bagus, menarik dan indah pembuka-pembuka itu. Pembuka seperti pujian (al-Tahmid), huruf-huruf tahajji, panggilan (al-nida) kepada Nabi dan umat, pernyataan berita kepada Nabi dan umat, sumpah-sumpah Allah, persyaratan “idza” (apabila),  perintah kepada Nabi dan umat, pertanyaan simpatik, vonis kecelakaan pada pihak tertentu,  dan penyampaian alasan (al-ta`lil) dalam rangkaian perintah yang seharusnya dilakukan, adalah permulaan-permulaan yang sangat bagus. Menurut tinjauan Ilmu Bayan, permulaan atau pembuka pembicaraan yang tepat dan bagus merupakan bagian integral dari kebalagahan pembicaraan (min balaghat al-kalam). Wallahu a`lam (rsn).

Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA

Tinggalkan komentar